Rabu, 13 Juni 2012

PENYAKIT FLU PADA BABI




FLU PADA BABI


Oleh: Drh. Gde Eka Parta Ariana


Puskeswan Baturiti





 BAB I PENDAHULUAN


Dewasa
ini banyak muncul berbagai penyakit yang menyerang hewan ternak , salah
satunya adalah influensa pada babi yang menimbulkan kerugian tidak saja
pada ternak tapi juga dapat menginfeksi manusia .


Influensa babi merupakan penyakit saluran pernafasan akut pada yang disebabkan oleh virus influensa tipe A. Gejala klinis yang nampak pada penyakit ini yaitu : batuk, dispnu, demam dan kondisi tubuh babi yang sangat lemah. Infeksi penyakit ini ke dalam kelompok ternak dalam waktu 1 minggu, penyakit ini dapat sembuh kecuali bila terjadi infeksi sekunder seperti ; komplikasi dengan bronchopneumonia ( Fenner et al., 1987 ).


Penyakit virus influensa babi pertama kali ditemukan tahun 1918 ( Hampson, 1996 ). Kejadian penyakit ini muncul bersamaan dengan kejadian penyakit epidemik pada manusia, maka penyakit ini disebut flu pada babi. Selain di negara Amerika Serikat, wabah influensa babi dilaporkan terjadi di berbagai negara Canada, Amerika Selatan, Asia dan Afrika pada permulaan tahun 1968 (Fenner et al., 1987).


Virus influensa babi diketahui pada tahun 1950-an, melanda negara Cekoslovakia, Inggris dan Jerman Barat. Tahun tahun 1976 di Amerika Serikat ditemukan
virus influensa babi yang dapat diisolasi dari manusia, selanjutnya
dapat terungkap bahwa apabila manusia berhubungan dengan babi sakit,
maka akan dapat menjadi terinfeksi dan menderita penyakit pernafasan
akut (O’Brian et al., 1977; Rota et al., 1989).


Flu babi merupakan penyakit yang memicu timbulnya gejala penyakit pernafasan komplex. Kerugian ekonomis yang terjadi dikarenakan infeksi virus influensa yang kembali
berulang dan karena gejala klinis yang tidak terlihat akibat adanya
respon kekebalan beberapa babi . Penyakit ini dapat menimbulkan kematian
anak babi, fertilitas menurun, terjadi abortus pada kebuntingan tua . 





BAB II ISI


2.1 EPIDEMIOLOGI


Penularan
virus influensa pada babi dapat melalui kontak , udara atau droplet.
Faktor cuaca dan stres akan mempercepat penularan. Virus tidak akan
tahan lama di udara terbuka. Penyakit bisa saja bertahan lama pada anak babi.
Kekebalan maternal dapat terlihat sampai 4 bulan tetapi mungkin tidak
dapat mencegah infeksi, kekebalan tersebut dapat menghalangi timbulnya
kekebalan aktif
.


Subtipe H1N1 mempunyai kemampuan menulari antara
spesies terutama babi, bebek, kalkun dan manusia, demikian juga sub
tipe H3N2 yang merupakan sub tipe lain dari influensa A. H1N1, H1N2 dan
H3N2 merupakan ke 3 subtipe virus influenza yang umum ditemukan pada
babi yang mewabah di Amerika Utara (Webby et al., 2000; Rota et al., 2000; Landolt et al., 2003), tetapi pernah juga sub tipe H4N6 diisolasi dari babi yang terkena pneumonia di Canada (Karasin et al., 2000).


Manusia dapat terkena penyakit influensa dan
dapat menularkannya pada babi. Beberapa kasus infeksi juga terbukti
disebabkan oleh sero tipe virus asal manusia. Penyakit pada manusia
umumnya terjadi pada kondisi musim dingin. Penularan kepada babi yang
dikandangkan atau hampir diruangan terbuka dapat melalui udara seperti
pada kejadian di Perancis dan beberapa wabah penyakit di Inggris (Rota et al., 1989, Wells et al.,1991). 





2.2 ETIOLOGI











Penyakit
saluran pernafasan pada babi disebabkan oleh virus influensa tipe A
yang termasuk Famili Orthomyxoviridae.Ukuran virus tersebut berdiameter
80- 120 nm. Selain influensa A, terdapat influensa B dan C yang juga
sudah dapat diisolasi dari babi. Sedangkan 2 tipe virus influensa pada
manusia adalah tipe A dan B. Kedua tipe ini diketahui sangat progresif
dalam perubahan antigenik yang sangat dramatik sekali (antigenik shift). Pergeseran antigenik tersebut sangat berhubungan dengan sifat penularan secara pandemik dan keganasan penyakit.


Ketiga tipe virus yaitu influensa A, B, C adalah virus yang mempunyai bentuk yang sama dan
hanya berbeda dalam hal kekebalannya saja. Ketiga tipe virus tersebut
mempunyai RNA dengan sumbu protein dan permukaan virionnya diselubungi
oleh semacam paku yang mengandung antigen haemagglutinin (H) dan enzim neuraminidase (N). Peranan haemagglutinin adalah sebagai alat melekat virion pada sel dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, sedangkan enzim
neurominidase bertanggung jawab terhadap elusi,
terlepasnya virus dari sel darah merah dan juga mempunyai peranan dalam
melepaskan virus dari sel yang terinfeksi. Antibodi terhadap haemaglutinin berperan dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang mengandung haemaglutinin yang sama. Antibodi juga terbentuk terhadap antigen neurominidase, tetapi tidak berperan dalam pencegahan infeksi.


Peristiwa rekombinan dapat terjadi, seperti H1N2 yang dilaporkan di Jepang (HAYASHI et al., 1993)
kemungkinan berasal dari rekombinasi H1N1 dan H3N2. Peristiwa semacam
ini juga dilaporkan di Italy, Jepang, Hongaria, Cekoslowakia dan
Perancis.


Virus influensa bertahan kurang
dari 2 minggu di luar sel hidup kecuali pada kondisi dingin. Virus
sangat sensitif terhadap panas, detergen, kekeringan dan desinfektan.
Sangat sensitif terhadap pengenceran tinggi desinfektan mutakhir yang
mengandung oxidising agents dan surfactants seperti Virkon (Antec).





2.3 PATOGENESIS


Virus
masuk melalui saluran pernafasan atas kemungkinan lewat udara. Virus
menempel pada trachea dan bronchi dan berkembang secara cepat yaitu dari
2 jam dalam sel epithel bronchial hingga 24 jam pos infeksi. Hampir
seluruh sel terinfeksi virus dan menimbulkan eksudat pada bronchiol.
Infeksi dengan cepat menghilang pada hari ke 9 (Anon., 1991).


Lesi
akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada paru – paru karena aliran
eksudat yang berlebihan dari bronkhi. Lesi ini akan hilang secara cepat
tanpa meninggalkan adanya kerusakan. Kontradiksi ini berbeda dengan lesi
pneumonia enzootica babi yang dapat bertahan lama. Pneumonia sekunder biasanya karena serbuan Pasteurella multocida, terjadi pada beberapa kasus dan merupakan penyebab kematian.(Blood and Radostits, 1989)


2.4 GEJALA KLINIS


Masa inkubasi virus ini antara
1-2 hari (Taylor, 1989), tetapi bisa 2-7 hari dengan rata-rata 4 hari .
Penyakit ini menyebar sangat cepat hampir 100% babi yang rentan
terkena, dan ditandai dengan apatis, sangat lemah, enggan bergerak atau
bangun karena gangguan kekakuan otot dan nyeri otot, eritema pada kulit,
anoreksia, demam sampai 41,8 ­­
ͦ
C. Batuk sangat sering terjadi apabila penyakit cukup hebat, dibarengi
dengan muntah eksudat lendir, bersin, dispnu diikuti kemerahan pada mata
dan terlihat adanya cairan mata. Biasanya sembuh secara tiba-tiba pada
hari ke 5-7 setelah gejala klinis. (Blood dan Radostits, 1989)


Terjadi
tingkat kematian tinggi pada anak - anak babi yang dilahirkan dari
induk babi yang tidak kebal dan terinfeksi pada waktu beberapa hari
setelah dilahirkan. Tingkat kematian pada babi tua umumnya rendah,
apabila tidak diikuti dengan komplikasi. Total kematian babi sangat
rendah, biasanya kurang dari 1%. Bergantung pada infeksi yang
mengikutinya, kematian dapat mencapai 1-4% (Anon, 1991). Anak-anak babi
yang lahir dari induk yang terinfeksi pada saat bunting, akan terkena
penyakit pada umur 2-5 hari setelah dilahirkan, sedangkan induk tetap
memperlihatkan gejala klinis yang parah.





2.5 PATOLOGI


Pada
hewan yang terserang influensa tanpa komplikasi, jarang sekali terjadi
kematian. Jika dilakukan pemeriksaan bedah bangkai lesi yang paling
jelas terlihat pada bagian atas dari saluran pernafasan. Lesi yang
terjadi meliputi kongesti pada mukosa farings, larings, trakhea dan
bronkhus, pada saluran udara terdapat cairan tidak berwarna, berbusa,
eksudat kental yang banyak sekali pada bronkhi diikuti dengan kolapsnya
bagian paru-paru (Blood dan Radostits, 1989). Terjadi lesi
pada paru - paru dengan tanda merah keunguan pada bagian lobus apikal
dan lobus jantung. Lesi lama biasanya terdepresi, merah muda keabu-abuan
dan keras pada pemotongan. Pada sekitar atalektase paru-paru sering
terjadi emphysema dan hemorhagis ptekhi. Lesi paru tersebut sama dengan
lesi pada Enzootic pneumonia yang hanya bisa dibedakan dengan histopatologi (Blood dan Radostits , 1989).


Pada pemeriksaan mikroskopik influensa babi, akan terdeteksi adanya necrotizing bronkhitis dan
bronkhiolitis dengan eksudat yang dipenuhi netrofil seluler. Terjadi
penebalan septa alveolar dan perubahan epithel bronchial. Bronchi
dipenuhi dengan neutrophil yang kemudian dipenuhi sel mononukleal, pada
akhirnya terjadi pneumonia intersisial lalu terjadi hiperplasia pada
epithel bronchial. Pada beberapa kasus hanya terlihat kongesti. Adanya
pembesaran dan edema pada limfoglandula dibagian servik dan mediastinal.
Pada limpa sering terlihat pembesaran dan hiperemi yang hebat terlihat
pada mukosa perut. Usus besar mengalami kongesti, bercak dan adanya
eksudat kathar yang ringan.





2.6 DIAGNOSIS


Diagnosis penyakit
influensa babi didasarkan pada gejala klinis dan perubahan patologi.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan berdasarkan isolasi virus pada
alantois telur ayam berembrio dan dilihat hemaglutinasi pada cairan
alantois. Spesimen yang paling baik untuk isolasi virus pada influensa
babi adalah cairan hidung yang diambil sedini mungkin atau organ paru
yangdiperoleh dari bedah bangkai (Fenner et al., 1987) dan tonsils (Sanford et al., 1989). Mendiagnosis influensa babi dengan metoda imunohistokimia sudah dilaporkan (Haines et al., 1993) dengan menggunakan antibodi poliklonal kemudian Vincent et al., (1997) menggunakan antibodi monoklonal.


Kualitas
pengujian dengan antibodi monoklonal tersebut lebih konsisten, karena
latar belakang pewarnaan yang rendah dan tidak terbatasnya penyediaan
antibibodi. Pada kasus penyakit influensa babi yang khronis, diagnosis
dapat dilakukan secara serologi dengan memperlihatkan peningkatan
antibodi pada serum ganda (paired sera) yang diambil dengan selang waktu 3-4 minggu. Untuk memeriksa antibodi terhadap virus influensa dapat digunakan uji haemagglutination inhibition (HI)
(Blood dan Radostits, 1989), Immunodifusi single radialdan virus
netralisasi. Kenaikan titer 4x lipatnya sudah dianggap adanya infeksi.
Pada uji serologis digunakan kedua antigen H1N1 dan H3N2 (Olsen et al., 2002).


Selain isolasi virus, diagnosis juga dapat dilakukan dengan mendeteksi antigen dengan uji fluorescent antibody technique (FAT)
pada sampel paru paru, tetapi mempunyai kekurangan oleh karena lesi
akibat virus sangat menyebar sehingga lesi dapat mendapatkan hasil
sampel yang negatif dan sampel harus benar-benar segar dengan sedikit
perubahan otolisis serta FA slide tidak dapat disimpan lama, warna akan pudar ( Vincent et al., 1997), metode deteksi swine influenza virus (SIV) pada jaringan yang difiksasi dengan metode imunohistokimia yang menggunakan antibodi monoklonal.





2.7 DIAGNOSIS BANDING


 Penyakit influensa A pada babi yang ringan akan dapat menjadi parah karena penyakit lain seperti Pseudorabies (Aujeszky's disease), Haemophillus parasuis, Mycoplasma hyopneumonia, Actinobacillus (H) pleuropneumonia atau Pasteurella multocida.
Keganasan dari infeksi influensa A babi dapat meningkat pula bersamaan
dengan adanya infestasi cacing paru-paru, migrasi larva ascaris melalui
paru-paru dan serbuan bakteria sekunder.


Terdapat kemungkinan adanya hubungan virus influensa babi (SIV) dengan porcine respiratory coronavirus (PRCV). Adanya suhu tubuh yang lebih tinggi dari pada infeksi tunggal, juga akan terlihat bersin dan batuk pada infeksi ganda PRCV dan babi yang terinfeksi H3N2 (Lanza et al., 1992). Sedangkan gejala demam, dispnu, pernafasan perut, batuk yang terus menerus dilaporkan merupakan kombinasi penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) dan SIV (Reeth et al., 1996).






2.8 PENGENDALIAN



Pengobatan
yang dilakukan terhadap infeksi virus influensa pada babi hanya
dilakukan untuk mengobati infeksi sekunder yang terjadi sedangkan untuk
pengobatan yang spesifik belum ada. Antibiotika seperti dengan
penisilin, sulfadimidin atau mungkin antibiotik yang berspektrum luas
dapat menghadang infeksi bakteri dalam mencegah infeksi sekunder.
Pengamanan yang sangat penting adalah tidak membuat stres hewan, seperti
dengan membuat bersih lingkungan yang bebas dari debu dan menjaga hewan
jangan sampai berdesakan, memperbaiki sistem kandang seperti alas yang
baik, memberikan air minum yang banyak dan bersih (Blood dan Radostits ,
1989).





Penyembuhan
dilakukan secara simptomatis dan pengobatan dengan antimikrobial untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder. Babi harus dipelihara dalam
keadaan sanitasi yang baik, kondisi kandang yang memadai dan eradikasi
cacing askaris dan cacing paru-paru. Desinfektan dapat digunakan untuk
melindungi hewan dari serangan kutu. Pada kasus-kasus penyakit yang
dilakukan eradikasi, juga harus dilaksanakan pengurangan populasi .


Pencegahan
penyakit influensa babi yang telah dicoba dengan perlakuan vaksinasi
dilaporkan oleh Dua dosis vaksin oil adjuvan (SuvaxynFlu-3, Duphor) yang
diaplikasikan dengan jarak pemberian 3 minggu. Cara ini banyak
digunakan di Eropa dengan tujuan untuk melindungi dari penyakit dengan
gejala dan penurunan produksi. Vaksin tersebut mengandung A/Swine
Ned/25/80 yang dapat melindungi terhadap serangan virus Eropa H1N1 dan
A/Port Chalmers/1/73 yang akan melawan hampir seluruh virus strain H3N2.
Sementara itu vaksin A/Philippines/ 2/82 berguna untuk melindungi babi
terhadap virus dari strain Bangkok H3N2. Sedangkan Maxi VacTM FLU
merupakan vaksin inaktif, oil adjuvant H1N1 yang diaplikasikan pada babi
umur 4-5 minggu, kemudian di vaksin ulang setelah 2-3 minggu kemudian.
Perlakuan dapat menekan gejala klinis batuk dan anoreksia (Taylor
,1986).





BAB III


KESIMPULAN


Penyakit
influensa babi adalah penyakit yang dapat menular ke manusia disebabkan
oleh virus influensa tipe A, sub tipe H1N1, H1N2 dan H3N2,


Perlunya
kewaspadaan terhadap penyakit influensa babi karena dapat menimbulkan
dampak yang buruk, bukan saja terhadap hewan tetapi juga terhadap
manusia.


Usaha
mencegah dan menghindari penyakit influensa babi peternak harus
memelihara babi dengan tata cara dan pelaksanaan pemeliharaan secara
baik.


Pelaksanaan
biosekuritas merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan untuk
secara ketat untuk menghindari penularan virus H1N1





BAB V


DAFTAR PUSTAKA


ANONIMUS. 1991. Swine Influenza (Hog flu, Pig flu). In the Merck Veterinary Manual 7th ed.


Merck & Co. Inc., Rahway, New Jersey, USA: 751-753.


BEVERIDGE W.I.B. 1977. Influenza: The Last Great Plaque. An unfinished story of discovery.


Heinemann Educational Books Ltd. 48 Charles St. London WIX 8AH: 1-124.


BLOOD D.C. and O.M. RADOSTITS, 1989. Swine Influenza. In "Veterinary Medicine". A


Textbook of the disease of cattle, sheep, pigs, goats & horses, 7th ed. Bailliere Tindall,


London, Philadelphia, Sydney, Tokyo, Toronto: 888-890.


BROWN I.H., S.H. DONE, Y.I. SPENCER, W.A.COOLEY, P.A. HARRIS, and D.J.


ALEXANDER, 1993. Pathogenicity of a swine influenza H1N1 virus antigenically


distinguisable from classical and European strains. Vet. Record 132, 24: 598-602.


CHOI
Y.K., J.H. LEE, G.ERICKSON, S.M. GOYAL, H.S JOO., R.G. WEBSTER and R.J.
WEBBY, 2004. H3N2 Influenza Virus Transmission from Swine to Turkeys,
United States


Emerging Infectious Diseases (10) 12 :2156- 2168


EASTERDAY B.C. 1986. Swine Influenza. In Diseases of Swine. 6th ed. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA:244-254.


EASTERDAY B.C., V.S. HINSHAW and D.A.HALVORSON, 1997. INFLUENZA. In


Diseases of Poultry 10 th Edition. Editor


CALNEK B.W., JOHN BARNES H., BEARD C.W., MCDOUGALD L.R., SAIF Y.M. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA.p: 583-605


EASTERDAY B.C and I K. VAN REETH 1999: Swine Influenza. In Diseases of Swine 8 th Edition. Editor B.E. STRAW, S. D’ALLAIRE,


W.L. MENGELING and D.J. TAYLOR Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA.: 277-290


FENNER
F., P.A. BACHMANN, E.P.J. GIBBS, F.A. MURPHY, M.J. STUDDERT, and D.O.
WHITE, 1987. Veterinary Virology. Academic Press Inc. London Ltd.,
473-484


HAINES
D.M., E.H.WATERS, and E.G. CLARK, 1993. Immunohistochemical detection
of swine influenza A virus in formalin-fixed and paraffin-embedded
tissues. Canadian J. of Vet.


Research 57, 1: 33-36.


HAMPSON A. 1996. Influenza-Dealing with acontinually emerging disease. In


Communicable Diseases Intelligence. (20) 9: 212-216.


HAYASHI
K., T. HASHIMOTO, and Y. MUKOHARA, 1993. Outbreak of swine influenza
due to H1N2 influenza virus in Nagasaki Prefecture. Journal of the Japan
Vet. Med. Ass. 46, 6:


459-462.


KARASIN
A.I., I.H. BROWN, S. CARMAN and C.W. OLSEN 2000. Isolation and
Characterization of H4N6 Avian Influenza Viruses from Pigs with
Pneumonia in Canada. J. of Vir. (74) 19: 9322-9327.


LANDOLT G.A., A.I. KARASIN, L.PHILLIPS and C.W.OLSEN, 2003. Comparison of the


Pathogenesis of Two Genetically Different H3N2 Influenza Virus in Pigs. J. of


Clin.Microb. (41) 5: 1936-19041 LANZA I., I.H. BROWN, and D.J. PATON, 1992.


Pathogenicity of concurrent infection of pigs with porcine respiratory corona virus and


swine influenza virus. Res. in Vet. Science 53: 309-314.


OLSEN C.W., L. BRAMMER, B.C. EASTERDAY, N. ARDEN, E. BELAY, I. BAKER and N.J. COX, 2002. Serologic Evidence of H1 Swine





Sumber : http://disnak.tabanankab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80&catid=40&Itemid=60







Tidak ada komentar:

Posting Komentar