Semenjak tumbuhnya agroindustri peternakan unggas dan sapi perah modern di Indonesia, tumbuh pulalah agribisnis jagung hibrida/open polyneted (Zea mays indurata). Biji jagung hibrida ini berwarna oranye. Pemanfaatannya 100% untuk bahan baku pakan ternak. Semenjak tumbuhnya agribisnis jagung hibrida, maka terdesak pulalah penanaman jagung tepung yang berwarna putih. Terdesaknya jagung tepung oleh jagung hibrida, selain disebabkan oleh pertumbuhan agroindustri peternakan; juga diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi nasional sejak awal tahun 1970an. Membaiknya perekonomian rakyat, dan meningkatnya produksi beras nasional, telah mengakibatkan konsumsi jagung tepung menurun drastis. Jagung tepung (Zea mays amylacea) semula memang dibudidayakan untuk bahan pangan substitusi beras. Ada yang dipecah dalam butiran kasar dan dicampurkan dalam beras, maupun ditumbuk halus menjadi tepung untuk dimasak menjadi nasi jagung.
Saat ini pun, masyarakat di pegunungan Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mengkonsumsi nasi jagung. Hanya proses penepungannya sudah dilakukan di penggilingan (huller) yang banyak bertebaran sampai ke pelosok desa. Sebelum ada huller, penepungan jagung dilakukan secara manual. Jagung pipilan kering, dimasukkan ke dalam lumpang (wadah penumbuk dari kayu maupun batu), disiram air panas dan ditumbuk menggunakan alu (batang penumbuk dari kayu). Hasilnya, berupa biji jagung pecah dan terpisah dari kulit biji serta lembaganya (kentosnya). Kulit ari dan lembaga ini disebut sebagai dedak jagung, dan dipisahkan dari biji pecah dengan ditampi menggunakan tampah (nampan dari anyaman bambu). Selanjutnya biji pecah direndam air antara 6 sd. 12 jam sampai lunak. Setelah itu, biji dicuci dan "dirimbang" untuk memisahkan sisa lembaga yang masih berada dalam pecahan biji. Setelah bersih, pecahan biji jagung ditumbuk dalam lumpang sampai menjadi tepung.
Tepung yang dihasilkan dicampur air dan dibuat menjadi adonan halus. Perlakuan ini sama dengan perlakuan terhadap tepung gaplek (singkong kering) dalam proses pembuatan tiwul. Adonan tepung jagung ini kemudian dikukus menggunakan kukusan (anyaman bambu berbentuk kerucut), dalam dandang (kuali pengukus dari tembaga) dan ditutup kekeb. Pengukusan dilakukan dalam tungku dengan bahan bakar kayu selama 15 menit. Untuk melihat apakah seluruh bagian tepung sudah masak, digunakan lidi atau soled khusus untuk menusuk adonan tepung. Setelah seluruh bagian tepung masak, adonan diangkat, ditaruh dalam tampah, dihancurkan sambil disiram air dingin dan diaduk-aduk menggunakan centong. Adonan ini dibiarkan mengembang sekitar 10 menit dan dikukus lagi. Pengukusan kedua berlangsung sekitar 10 menit, adonan kembali diangkat, ditaruh dalam tampah, disiram air panas dan diaduk rata serta dibiarkan mengembang selama 15 menit. Setelah mengembang, adonan kembali dikukus tahap III selama 30 menit sampai siap disantap sebagai nasi jagung.
Meskipun pengukus aluminium dan stainless steel sudah memasyarakat semenjak tahun 1960an, namun sampai saat ini pengukusan dengan dandang tembaga dan kukusan dari anyaman bambu masih tetap dilakukan masyarakat di pegunungan. Demikian pula dengan tungkunya, meskipun kompor minyak dan gas sudah memasyarakat, namun tungku dengan bahan bakar kayu tetap masih mereka pergunakan. Sebab fungsi tungku pada masyarakat di pegunungan, bukan sekadar untuk memasak, melainkan juga untuk mengasap tongkol jagung, gaplek, tembakau dan biji-bijian hasil panen yang disimpan dalam lumbung di atas tungku tadi. Selain itu, tungku juga berfungsi sebagai penghangat ruangan. Sebab suhu udara di pegunungan sering turun di bawah 15° C (suhu terendah ruang ber AC hanya 18° C). Bahkan malam hari pada bulan-bulan Juli, Agustus dan September, suhu udara bisa turun sampai 0° C hingga terjadi frost.
Mengkonsumsi nasi jagung bagi masyarakat pegunungan, bukan sekadar masalah ekonomi melainkan juga kultur. Bahkan sampai saat ini pun, proses penepungan jagung secara manual menggunakan alu dan lumpang masih banyak dilakukan oleh keluarga pedesaan di pegunungan. Meskipun dilihat dari kacamata ekonomi sangat tidak rasional, tetapi karena merupakan bagian dari kultur, maka proses pembuatan nasi jagung masih tetap dijalankan oleh masyarakat. Hanya kalau sebelum tahun 1970an mengkonsumsi nasi jagung terpaksa dilakukan karena faktor ekonomi, maka saat ini pertimbangannya sekadar masalah kultural. Sama halnya dengan masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri yang sampai sekarang masih tetap mengkonsumsi tiwul. Faktor kultural inilah yang menyebabkan budidaya jagung tepung sampai sekarang masih terus berlangsung. Hingga plasma nutfah jagung tepung juga masih tetap terpelihara dengan baik dan tidak mengalami kepunahan.
Budidaya jagung tepung yang dilakukan oleh masyarakat, menjadi sangat tidak ekonomis karena hasil per hektar per musim tanam paling tinggi hanya 1 ton pipilan kering. Namun secara ekonomis, yang riil mereka keluarkan hanyalah pembelian pupuk urea sekitar Rp 100.000,- untuk 1 hektar lahan. Selebihnya benih, pupuk kandang, pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan ongkos panen sama sekali tidak mengeluarkan biaya riil. Seandainya seluruh biaya itu diuangkan, maka nilainya sekitar Rp 1.500.000,- per hektar per musim tanam. Kalau harga jagung tepung ini Rp 1.000,- per kg. maka hasil yang diperoleh hanya bernilai Rp 1.000.000,- per hektar per musim tanam. Hingga sebenarnya petani merugi. Tetapi karena beban riil yang mereka keluarkan hanya Rp 100.000,- maka petani masih menganggap bahwa kegiatan ini menguntungkan. Lebih-lebih karena hasil jagung tersebut untuk mereka konsumsi sendiri. Kalau biaya itu ditingkatkan menjadi Rp 3.000.000,- per hektar per musim tanam, maka hasilnya akan meningkat menjadi 3 ton biji jagung pipilan kering (kadar air 14 %). Hingga peningkatan biaya sebesar 100%, akan mengakibatkan peningkatan hasil 200%. Dengan nilai pipilan kering Rp 1.000,- per kg. (jagung pakan ternak Rp 900,- per kg.) kegiatan ini baru BEP. Kalau mau untung, maka hasil pipilan kering minimal harus 4 ton per hektar per musim tanam.
Dari 1 ton jagung pipilan kering, kalau ditepungkan akan menjadi 700 kg tepung dan 300 kg dedak. Nilai dedak Rp 500,- per kg. atau Rp 150.000,- menjadi hak pemilik huller. Biaya penepungan Rp 100,- per kg. atau total Rp 100.000,- Hingga nilai 700 kg. tepung akan menjadi Rp 1.100.000,- atau Rp 1.571,- per kg. atau dibulatkan menjadi Rp 1.600,- per kg. Harga pokok tepung ini masih sangat rasional mengingat harga tepung terigu tanpa merek di tingkat konsumen sudah di atas Rp 3.000,- per kg, tepung beras Rp 4.500,- per kg, tepung ketan Rp 5.700,- per kg, tapioka Rp 2.800,- per kg, dan tepung maizena impor Rp 9.500,- per kg. Dengan harga jual tepung jagung di tingkat konsumen Rp 2.500,- per kg. pun, sebenarnya masih sangat bersaing, sebab lebih murah Rp 300,- dibanding tepung tapioka dan lebih murah Rp 2.000,- dari tepung beras. Namun sampai sekarang agroindustri tepung jagung tidak pernah bisa berkembang karena pemanfaatannya masih sebatas untuk nasi jagung. Sementara tepung tapioka diserap oleh industri kerupuk dan bakso, serta tepung beras untuk aneka kue basah dan pembalut gorengan.
Di Amerika Latin, agroindustri tepung jagung bisa tumbuh sangat sehat, sebab pemanfaatannya lebih ditujukan untuk substitusi gandum. Roti dan aneka kue jagung merupakan menu yang telah memasyarakat dan diproduksi secara massal. Hingga agroindustri tepung jagung pun juga berkembang sejalan dengan konsumsi roti dan kue secara modern. Hal inilah yang belum terjadi di Indonesia. Akibatnya terjadi ketimpangan antara budidaya jagung pakan ternak, jagung manis dan jagung tepung. Kalau jagung pakan ternak dan jagung manis telah dibudidayakan secara modern dalam skala komersial, maka budidaya jagung tepung masih dilakukan secara subsisten oleh para petani tradisional. Hingga tidak terlalu penting apakah hasilnya akan merugi atau menguntungkan. Padahal, konsumen pangan di Indonesia, terutama masyarakat lapis bawah, tidak terlalu mempermasalahkan, apakah kue serta roti yang dikonsumsinya berasal dari bahan baku gandum, beras, jagung atau singkong. Bagi konsumen, yang penting rasanya enak, tidak membahayakan kesehatan dan harganya terjangkau.
Kedatangan tanaman jagung dan singkong di Indonesia dari Amerika Latin relatif bersamaan waktunya. Namun variasi menu tradisional dari singkong mencapai puluhan, sementara masyarakat hanya mengenal nasi jagung, jagung rebus/bakar, gerontol (biji jagung direbus setelah dihilangkan kulit arinya dengan kapur), marning (gerontol dikeringkan dan digoreng). Makanan kering dari singkong dikenal cukup banyak. Mulai dari aneka kerupuk, aneka opak dan keripik singkong. Variasi makanan kering dari jagung, sebenarnya bisa lebih banyak. Tetapi karena menu makanan menyangkut dengan kultur, maka pengembangan jagung tepung di Indonesia tidak bisa dipaksakan. Menjadi tugas para enterpreneur dan inovator untuk merintis berbagai menu dari bahan jagung. Sebab ketergantungan impor gandum untuk mie, roti dan berbagai kue, pada akhirnya akan makin memperkaya negara maju dan memiskinkan para petani kita. (R) * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar