Poultryindonesia,com, Laporan Utama. Pola kemitraan ayam ras pedaging yang diselenggarakan perusahaan peternakan semakin berjaya. Bahkan bagi perusahaan tertentu pola kerjasama budidaya dengan para peternak baru itu telah menjadi ‘dewa penolong’ pada masa krisis lalu. Kini peternak mandiri banyak yang bangkit, pengusaha poultry shop kembali tumbuh, gugatan terhadap eksistensi kemitraan yang dikelola perusahaan besar mulai kambuh. Inikah konflik kemitraan babak kedua?
Pola kerjasama kemitraan dalam agribisnis ayam ras adalah keniscayaan. Pada tahap awal pengenalan ayam ras, peran poultry shop sebagai ujung tombak pengembangan, sangatlah penting.
Sarana produksi peternakan utama seperti bibit, pakan ternak dan obat-obatan selalu disalurkan dari produsen ke peternak melalui poultry shop. Ini bisa dimaklumi, karena peternak pada saat itu masih berskala kecil dan sporadis.
Pada masa itu poultry shop benar-benar berperan sebagai inti dan peternak menjadi plasma — dengan berbagai varian kesepakatan kerjasama. Di luar itu juga ada peternak mandiri yang beli lepas sapronak kepada poultry shop dan menjual sendiri hasil budidayanya.
Usaha peternakan ayam ras semakin menampakkan daya pikatnya. Para pengusaha poultry shop tidak sedikit yang sukses mengembangkan jaringan agribisnis ini di daerah masing-masing. Peternak plasma juga banyak yang berkembang menjadi peternak mandiri tangguh. Menurut sejumlah pelaku agribisnis ayam ras, periode itu boleh dikatakan masa nikmatnya usaha peternakan ayam ras.
Tapi sayang, nikmat itu hanya berlangsung singkat, terutama setelah perusahaan peternakan tergiur ingin mengembangkan budidaya sehingga memperlebar pemasaran sapronaknya. Perusahaan peternakan tidak lagi menyerahkan distribusi sapronak melalui poultry shop. Mereka mulai mengepakkan sayap dengan membina (baca : memodali) poultry shop tertentu dan peternak tertentu untuk menjadi ‘agen tunggal’, guna memperbesar skala usaha dan menjadi pelanggan setianya. Era pendistribusian sapronak secara langsung dari produsen ke peternak mulai berlangsung, maka peran poultry shop ‘gado-gado’ mulai surut.
Pelaku budidaya ayam ras kuat modal semakin kokoh berdiri, sementara peternak skala menengah ke bawah semakin lemah. Serangkaian kebijakan pemerintah yang di atas kertas sangat berpihak kepada peternak rakyat – misalnya tentang pembatasan skala usaha – pada kenyataannya tidak pernah berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Bahkan menyikapi aturan-aturan tersebut, muncul berbagai manipulasi ‘kemitraan’ yang dilakukan perusahaan peternakan. Caranya, dengan mengatasnamakan karyawan (atau ‘koperasi karyawan’) sebagai peternak plasma, padahal hakikatnya seluruh kegiatan usaha tersebut dibiayai oleh perusahaan bersangkutan untuk meningkatkan produksi dan memasuki bidang budidaya.
Apa maksud di balik semua itu? Tidak lain untuk menyiasati larangan pemerintah perihal penguasaan usaha dari hulu hingga hilir – yang berarti memasuki bidang budidaya. Maksud kedua adalah, salah satu cara pengusaha merebut hati pemerintah agar didukung dan mendapat simpati untuk mendapat utang dari sindikasi perbankan. Akhirnya, krisis ekonomi dan moneter sejak pertengahan 1997 mengungkapkan semua itu.
Satu lagi hal penting yang patut dicatat pada masa krisis lalu adalah sikap ‘longgar’ pemerintah – dalam hal ini Departemen Pertanian yang menyatakan: untuk memulihkan penyediaan sumber pangan asal ternak sebagai akibat krisis, perusahaan peternakan ‘diijinkan’ masuk ke bidang budidaya.
Kini, suasana budidaya ayam ras seakan kembali berulang seperti pada dekade pertama perintisan. Penyelenggara pola kemitraan semakin beragam, disamping perusahaan peternakan sebagai inti, tidak sedikit poultry shop yang bangkit kembali dan menjalin kerjasama kemitraan dengan peternak kecil. Dan ada pula peternak mandiri yang berperan sebagai inti – memodali peternak-peternak skala kecil yang ternyata masih tetap ada hingga kini.
Sebenarnya masih ada kesempatan ‘mengatur’ jalannya agribisnis ini agar persaingan yang terjadi berlangsung adil, karena masih ada satu rambu yang tersisa yakni Undang-undang Anti Monopoli. Tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang bertugas mengawal pelaksanaan UU No. 5/1999 itu, se telah menyelidik soal pendistribusian DOC dalam keputusannya menyimpulkan : Tidak Ada Praktik Kartel dalam Distribusi Bibit Ayam (DOC).
Padahal salah satu anggota KPPU sendiri mengatakan sungguhpun tidak ada kartel dalam pemasaran DOC (broiler) namun ada indikasi terjadi praktik monopoli dibalik pelaksanaan kemitraan. Tentu saja pernyataan ini memunculkan pertanyaan baru, adakah sesuatu yang terlepas antara pendistribusian DOC dengan penyelenggaraan kemitraan? mulyantono
Pada masa itu poultry shop benar-benar berperan sebagai inti dan peternak menjadi plasma — dengan berbagai varian kesepakatan kerjasama. Di luar itu juga ada peternak mandiri yang beli lepas sapronak kepada poultry shop dan menjual sendiri hasil budidayanya.
Usaha peternakan ayam ras semakin menampakkan daya pikatnya. Para pengusaha poultry shop tidak sedikit yang sukses mengembangkan jaringan agribisnis ini di daerah masing-masing. Peternak plasma juga banyak yang berkembang menjadi peternak mandiri tangguh. Menurut sejumlah pelaku agribisnis ayam ras, periode itu boleh dikatakan masa nikmatnya usaha peternakan ayam ras.
Tapi sayang, nikmat itu hanya berlangsung singkat, terutama setelah perusahaan peternakan tergiur ingin mengembangkan budidaya sehingga memperlebar pemasaran sapronaknya. Perusahaan peternakan tidak lagi menyerahkan distribusi sapronak melalui poultry shop. Mereka mulai mengepakkan sayap dengan membina (baca : memodali) poultry shop tertentu dan peternak tertentu untuk menjadi ‘agen tunggal’, guna memperbesar skala usaha dan menjadi pelanggan setianya. Era pendistribusian sapronak secara langsung dari produsen ke peternak mulai berlangsung, maka peran poultry shop ‘gado-gado’ mulai surut.
Pelaku budidaya ayam ras kuat modal semakin kokoh berdiri, sementara peternak skala menengah ke bawah semakin lemah. Serangkaian kebijakan pemerintah yang di atas kertas sangat berpihak kepada peternak rakyat – misalnya tentang pembatasan skala usaha – pada kenyataannya tidak pernah berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Bahkan menyikapi aturan-aturan tersebut, muncul berbagai manipulasi ‘kemitraan’ yang dilakukan perusahaan peternakan. Caranya, dengan mengatasnamakan karyawan (atau ‘koperasi karyawan’) sebagai peternak plasma, padahal hakikatnya seluruh kegiatan usaha tersebut dibiayai oleh perusahaan bersangkutan untuk meningkatkan produksi dan memasuki bidang budidaya.
Apa maksud di balik semua itu? Tidak lain untuk menyiasati larangan pemerintah perihal penguasaan usaha dari hulu hingga hilir – yang berarti memasuki bidang budidaya. Maksud kedua adalah, salah satu cara pengusaha merebut hati pemerintah agar didukung dan mendapat simpati untuk mendapat utang dari sindikasi perbankan. Akhirnya, krisis ekonomi dan moneter sejak pertengahan 1997 mengungkapkan semua itu.
Satu lagi hal penting yang patut dicatat pada masa krisis lalu adalah sikap ‘longgar’ pemerintah – dalam hal ini Departemen Pertanian yang menyatakan: untuk memulihkan penyediaan sumber pangan asal ternak sebagai akibat krisis, perusahaan peternakan ‘diijinkan’ masuk ke bidang budidaya.
Kini, suasana budidaya ayam ras seakan kembali berulang seperti pada dekade pertama perintisan. Penyelenggara pola kemitraan semakin beragam, disamping perusahaan peternakan sebagai inti, tidak sedikit poultry shop yang bangkit kembali dan menjalin kerjasama kemitraan dengan peternak kecil. Dan ada pula peternak mandiri yang berperan sebagai inti – memodali peternak-peternak skala kecil yang ternyata masih tetap ada hingga kini.
Sebenarnya masih ada kesempatan ‘mengatur’ jalannya agribisnis ini agar persaingan yang terjadi berlangsung adil, karena masih ada satu rambu yang tersisa yakni Undang-undang Anti Monopoli. Tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang bertugas mengawal pelaksanaan UU No. 5/1999 itu, se telah menyelidik soal pendistribusian DOC dalam keputusannya menyimpulkan : Tidak Ada Praktik Kartel dalam Distribusi Bibit Ayam (DOC).
Padahal salah satu anggota KPPU sendiri mengatakan sungguhpun tidak ada kartel dalam pemasaran DOC (broiler) namun ada indikasi terjadi praktik monopoli dibalik pelaksanaan kemitraan. Tentu saja pernyataan ini memunculkan pertanyaan baru, adakah sesuatu yang terlepas antara pendistribusian DOC dengan penyelenggaraan kemitraan? mulyantono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar