Harga pakan kian melambung, tapi harga jual ayam tak jua membubung. Lantas, dengan pola bisnis yang bagaimana agar usaha peternakan terus bergulir dan meraup untung?
Para pelaku usaha mafhum, bisnis ayam ras pedaging penuh ketidakpastian lantaran harga hasil panennya naik turun. Kemarin boleh jadi meraup untung segunung, tapi besoknya bisa jadi malah buntung.
“Bisnis ayam ras (pedaging) itu 70% gambling. Sebab, setelah dipelihara 35 hari, tidak seorang pun tahu harga jualnya berapa,” komentar H. Ajat Darajat, pemilik Naratas Poultry Shop di Cikoneng, Ciamis, Jabar, yang menjalin kemitraan dengan 854 peternak. Walau begitu, selama 27 tahun, ia tetap eksis menjalankan roda bisnis perunggasan. Pasalnya, ia memiliki jurus agar usahanya menguntungkan (baca juga: H. Ajat Darajat, Benteng Peternak Rakyat Kecil).
Diakui banyak pihak, semenjak krisis moneter 1998, ditambah merebaknya wabah flu burung pada 2002, sampai sekarang kondisi bisnis ayam ras masih samar-samar. “Kondisi bisnis saat ini mirip saat krisis. Bedanya, kalau dulu berimbas pada semua sektor, sekarang lebih ke unggas,” ucap Darmansyah, Vice Presiden PT Inter Agro Prospek (grup PT Charoen Pokhand Indonesia).
Hari Wibowo, Ketua Umum Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (Apayo), membenarkan, kondisi usaha ayam ras sekarang lebih kritis. Hal ini dipicu oleh banyaknya bencana alam sehingga ayam yang belum cukup umur untuk dipanen harus segera keluar kandang. Yang terjadi kemudian, pasar kelebihan pasokan. Kejadian itu berbarengan pula dengan datangnya bulan Suro (tidak banyak pesta), sehingga permintaannya menurun. Harga ayam pun melorot.
Pendapat serupa dilontarkan Ajat. “Dari pengalaman selama ini, setiap Januari—Maret, bisnis ayam lesu. Kejadian ini merupakan siklus tahunan,” jelasnya. Hanya saja, saat ini diperparah dengan melambungnya harga pakan, akibat terus meroketnya harga bahan baku pakan yang diimpor.
Minggu pertama Januari, menurut pengakuan Hari, harga pokok produksi (HPP) rata-rata Rp8.600/kg. Perhitungan Ajat, HPP di Priangan Timur, Jabar, sudah menembus Rp10.350/ekor. Sementara di Bogor, Jabar, menurut catatan Tri Hardiyanto, Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Andalan Nasional (Gopan), HPP berkisar Rp10.500—Rp11.000 untuk ayam berbobot 1,4—1,5 kg/ekor. Tapi secara umum, peternak menghitung biaya produksi dengan rumus: 2 kg pakan ditambah harga DOC (anak ayam umur sehari). Kala itu, harga pakan Rp4.100—Rp4.300/kg. Sementara DOC sekitar Rp200—Rp1.750/ekor.
Di lain pihak, harga jual ayam di tingkat peternak tidak bisa serta-merta didongkrak. Pada kurun waktu yang sama, harga ayam potong di tingkat peternak berkisar Rp6.500—Rp8.200/kg. Praktis, peternak berada dalam kondisi serba sulit. Mau tetap beternak, jangan-jangan kerugian bertambah. Mau berhenti beternak dan pindah ke usaha lain, belum tentu berhasil, sebab keahlian mereka terbatas di bidang peternakan ayam.
Nasib Peternak Mandiri
Ada tiga tipe peternak ayam pedaging di tanah air, yaitu kemitraan, mandiri, dan komersial farm yang dimiliki pabrikan (industri). Pelaksana kemitraan (inti) adalah industri seperti gGrup Japfa, Charoen Pokphand (CP), CJ Feed, Sierad Produce, Wonokoyo, poultry shop (PS), maupun pribadi pemilik modal besar. Peternak kemitraan tidak membeli sapronak dan tidak memasarkan hasil panen sendiri. Mereka memperoleh penghasilan atas dasar kesepakatan dengan inti.
Sementara peternak mandiri adalah mereka yang membeli sapronak dari pabrikan dan menjual hasil panen sendiri sehingga untung maupun rugi ditanggung sendiri.
Menurut Tri Hardiyanto, kondisi bisnis seperti sekarang sangat memberatkan peternak mandiri. Apalagi modalnya pas-pasan. Sebab, untung rugi tidak bisa dihitung hanya dari satu periode pemeliharaan. Tapi dibutuhkan 3—4 periode produksi guna melakukan evaluasinya. Bahkan, menurut Ajat, lantaran iklim bisnis sudah berubah, untung rugi baru bisa dihitung dalam siklus 3 tahunan.
Namun, Lucky Ranti, pemilik PS di Tangerang, Banten, berpendapat lain. Menurut pria yang sudah merintis PS sejak 1992 dan mulai beternak pada tahun 2000 itu, jika mempunyai cukup modal, berusaha sendiri (mandiri) akan lebih menguntungkan. Sebab, mata rantai usahanya lebih pendek. Sementara pada kemitraan, lanjut dia, semua sisi (pakan, DOC, dan obat-obatan) inti mengambil untung sehingga marginnya tipis.
Namun, menurut pengalaman H. Idung, peternak di Desa Tapos, Kec. Tenjo, Bogor, peternak mandiri menghadapi risiko besar. “Sebelum memilih kemitraan, saya berusaha sendiri. Namun untuk memasarkan 500—1.000 ekor saja saya bingung. Apalagi dalam kondisi bisnis perunggasan seperti saat ini. Sekarang banyak peternak mandiri bingung karena terlibat utang. Ditambah lagi piutang di agen-agen di pasar belum lunas, peternak sudah kembali panen. Kejadian itu terus berantai,” paparnya.
Saling Menguntungkan
Menurut Achmad Dawami, Senior Vice President PT Primatama KaryaPersada (grup Japfa), untuk menyikapi iklim bisnis saat ini, peternak lebih baik bermitra. Pasalnya, biaya produksi mahal akibat harga pakan meningkat terus. Sementara harga jual ayam elastisitasnya tinggi. “Dengan bermitra, modal dan sarana produksi, serta pasar, dijamin inti,” jelasnya.
Tanpa mengesampingkan pola mandiri, tampaknya sistem kemitraan menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan bisnis dalam budidaya ayam ras saat ini. Apalagi, menurut Heri Setiawan, Communication Manager PT Wonokoyo Jaya Corporindo di Surabaya, Jatim, sebagian besar peternak ayam ras adalah peternak rakyat kecil. Mereka memiliki keterbatasan dalam banyak hal seperti modal, teknologi, maupun sumber daya. Di lain pihak, inti khususnya pabrikan memiliki kelebihan di bidang tersebut.
Tjeppy D. Soedjana, Dirjen Peternakan, Deptan, menegaskan, kemitraan perunggasan mempunyai tujuan utama untuk saling berbagi sumber daya dalam mengoptimalkan nilai tambah dari input, proses produksi, maupun output. Kemitraan tersebut dibutuhkan oleh perusahaan besar (penyandang modal besar) karena dapat berperan sebagai pasar sapronak dan berbagi risiko. “Prinsip share in resources and benefit tersebut dapat meningkatkan manfaat ekonomi bagi kedua belah pihak yang bermitra,” ujarnya.
Dawami menambahkan, win-win solution bukan berarti segala sesuatunya dibagi rata. Namun, “Wajar seandainya pada saat harga ayam potong hancur, si mitra tidak mengalami kerugian. Demikian pula ketika harga tinggi, si mitra juga bisa menikmati sesuai porsi masing-masing,” urai Dawami. Walaupun pembagian risiko, terutama pasar, akan dihadapi oleh inti.
Melalui kemitraan, paling tidak peternak plasma mempunyai kepastian usaha 5—6 kali dalam setahun. Soal perolehan keuntungan, tergantung model kemitraan mana yang dipilih dan indeks prestasi yang dihasilkan peternak selama memelihara ayam.
Lebih Nyaman
Manfaat bermitra sudah banyak dirasakan para peternak yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi. Indikasinya, dari 2,5 juta peternak ayam ras saat ini, 70%—90% adalah peternak kemitraan. “Padahal, sampai dengan 1997, sebelum krisis, peternak ayam ras didominasi oleh peternak mandiri. Peternak yang bermitra hanya sekitar 20%,” papar Dawami.
Contoh peternak mitra (plasma) adalah Iwan di Desa Ciherang, Kec. Linggasari, Ciamis. Pada 1997 ia memutuskan untuk beternak ayam ras. Tapi modalnya hanya cukup untuk membangun kandang. Oleh sebab itu ia memilih menjadi peternak mitra Naratas PS.
“Dengan bermitra, usaha lebih nyaman, lantaran nyaris tanpa risiko kerugian. Saya pun tidak pusing dengan kontinuitas pasokan sapronak maupun pemasaran karena dijamin inti,” aku Iwan, yang saat ditemui ia memelihara 1.500 ekor broiler per siklus. Bahkan, lanjut dia, plasma tidak peduli terhadap melambungnya harga sapronak maupun anjloknya harga hasil panen. Peternak hanya terfokus terhadap budidaya untuk berlomba menghasilkan indeks prestasi pemeliharaan (IP) yang tinggi. Sebagai peternak kecil, Iwan bersyukur, setiap periode masih mengantongi keuntungan rata-rata Rp1.000/ekor.
Contoh lain adalah Maman Surachman, peternak di Sindang Heula, Serang, Banten, yang bermitra dengan PT Super Unggas Jaya (SUJA), grup CJ Feed. Ketika ditemui AGRINA sebelum Idul Fitri tahun lalu, ia memelihara 5.000 ekor broiler per siklus. Maman mengaku, setelah dipotong biaya produksi, ia masih mendapat keuntungan bersih Rp6 juta—7 juta/periode.
Pun Agus Saefulloh yang bermitra dengan PT Tunas Mekar Farm (TMF) di Bogor, Jabar. Saat ditemui November tahun lalu, dari populasi 10.000, ia mengaku kebagian untung bersih Rp4 juta—Rp5 juta/periode.
Demikian halnya dengan H. Idung. Setelah 6 tahun gonta-ganti mitra, sejak 2007 ia bergabung dengan PT Prima Karya Persada (PKP). Dari populasi 11.000 ekor broiler, setiap periode ia meraih keuntungan bersih rata-rata Rp4,4 juta. Jumlah itu diperoleh dari hasil penjualan produksi 16 ton, ditambah insentif (baca juga: Biar Nggak Buntung, Mendingan Bermitra)
Beragam Model
Secara umum, kemitraan ayam ras pedaging di tanah air terbagi menjadi 3 sistem: bagi hasil, harga kontrak, dan manajemen fee atau makloon (lihat boks). Meskipun dasar perhitungan laba rugi dalam sistem kemitraan tersebut adalah IP, tapi pola kemitraan yang diterapkan inti bermacam-macam. Persyaratannya pun beragam. Namun yang pasti, di setiap kantong peternak kemitraan, polanya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan budaya.
Menurut Dawami, pola kemitraan yang diterapkan PKP tergantung daerah peternak masing-masing, ada sistem kontrak, ada pula bagi hasil. Di Kecamatan Tenjo, Bogor, misalnya, menerapkan sistem bagi hasil karena kondisi alamnya kurang mendukung untuk pemeliharaan ayam besar.
Soal skala usaha plasma, di PKP rata-rata 5.000 ekor/peternak agar mereka memperoleh keuntungan Rp4 juta—Rp5 juta/siklus. Namun di luar Jawa ada juga yang 2.000 ekor/peternak. Syarat lainnya adalah agunan, berupa personal garansi atau bentuk lainnya, plus nota kesepahaman. Dengan menerapkan dua model kemitraan, sejak 1995 sampai sekarang PKP sudah menggandeng ribuan peternak yang terkonsentrasi di Sumatera dan Jawa.
Sistem kemitraan di Grup CP yang dibangun mulai 1987, lebih ke harga kontrak. Skala usaha plasma minimal 5.000 ekor/peternak, plus agunan sekitar 10% dari nilai sapronak dan surat perjanjian. Dengan pola semacam itu, Darmansyah mengakui, kini pihaknya mampu merektut ribuan peternak yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusatenggara Barat.
Demikian juga sistem kemitraan yang dilakukan Wonokoyo. Menurut Heri, sistem dan persayaratan yang diterapkan hampir sama dengan pabrikan lain. Hanya saja skala usaha plasma minimal 10.000 ekor/peternak. Kemitraan itu sudah diterapkan sejak 1999, tapi masih terbatas di Jawa, khususnya Jatim.
Kemitraan harga kontrak juga diterapkan di TMF sejak 2004. Menurut Muslikhin Irmat, Pimpinan TMF, dengan skala usaha 5.000 ekor/plasma, TMP sudah menjaring 150 peternak.
Lain halnya dengan CJ Feed. Menurut Paulus Widanarko, General Manager Produk Unit Bisnis Kemitraan SUJA, sistem kemitraan yang baru dilakukan selama 1,5 tahun dengan menerapkan tiga pola. Namun, dari ratusan peternak yang sudah bergabung, lebih banyak memilih sistem kontrak. Skala usaha peternak mitra di SUJA minimal 4.000 ekor/peternak. Syarat lainnya, tak jauh beda dengan PKP maupun CP. Peternak plasmanya kini baru ada di Banten dan Jabar.
Sistem harga kontrak dan bagi hasil, dianut juga oleh Kelompok Duta Technovet (KDT) di Yogyakarta, yang diketuai Hari Wibowo. Hingga kini KDT sudah menjalin dengan 600 peternak di Gunung Kidul, Sleman, Bantul, dan Kulonprogo, semuanya masih di Provinsi DIY.
Apapun model yang dipilih, bila kedua belah pihak menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dengan benar, kemitraan akan mendatangkan keuntungan. Buktinya, di Thailand, Filipina, Malaysia, dan Amerika, kemitraan bisa berjalan mulus, walaupun dengan sistem berbeda.
Dadang WI, Enny Purbani, Yan Suhendar, Selamet R., Ryan (Yogyakarta), Indah Retno Palupi (Surabaya)
Garis Besar Pola Kemitraan |
Kemitraan harga kontrak: o Tidak peduli harga ayam di pasar seperti apa (harga mengikat) o Kerugian ditanggung peternak (kekeluargaan). Tapi kalau terjadi musibah alam atau wabah penyakit, kerugian ditanggung inti. Sebaliknya, jika akibat keteledoran peternak, kerugian ditanggung plasma. |
Kemitraan bagi hasil: o Harga pokok/sapronak terbuka, alias ditentukan di muka. o Kerugian ditanggung bersama. o Harga panen tergantung pasar. Tapi inti menjamin plasma tetap mendapat keuntungan |
Kemitraan makloon: - Biaya operasional dihitung inti - Kerugian ditanggung inti - Harga panen mengikuti pasar |
sumber : http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=7&aid=1177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar